RSS

The power of hope 3




3. Tarik hikmah dari setiap peristiwa yang kita alami.

John C. Maxwell dalam sebuah seminar di Jakarta pernah bertanya, "Apakah pengalaman adalah guru yang terbaik?" Umumnya peserta menjawab ya. "Tidak! Pengalaman belum tentu menjadi guru yang terbaik kecuali kita mengevaluasinya. Jadi, hanya pengalaman yang dievaluasi itulah guru yang terbaik!" Saya sangat setuju dengan pernyataan mentor saya itu.

Kita harus mengevaluasi pengalaman kita dengan teliti. Tanyakan pada diri kita, apa masalah sesungguhnya? Jika saya harus mengulanginya, bagaimana sebaiknya saya melakukannya? Jika saya bisa lulus ujian ini, apa saja manfaat yang bisa saya dapatkan? Bila perlu, dan saya hampir selalu menyarankan agar kita meminta bantuan orang yang kompeten. Misalnya mereka yang lebih tahu atau lebih berpengalaman. Artinya, mereka dulu pernah mengalami situasi yang sekarang tengah kita hadapi dan mereka terbukti mampu menyelesaikannya dengan baik. Belajarlah dari mereka, apa saja yang mereka lakukan saat situasi buruk menimpa mereka? Apa saja kendala yang mereka hadapi saat mereka berusaha mencari jalan keluar? Bagaimana mereka bisa bertahan bahkan dapat melangkah maju di masa sulit? Bagaimana mereka bisa menghadapi omongan-omongan negatif orang lain yang meminta mereka memilih jalan yang berbeda? Evaluasi-evaluasi ini haruslah kita lakukan dengan sungguh-sungguh sebagai bekal perjalanan hidup kita selanjutnya. Jalan masih panjang!

Jangan sampai kita bertanya kepada orang yang salah sehingga pada akhirnya seperti orang buta menuntun orang buta. Benar sekali nasihat King Solomon, "Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang." Sudah beberapa kali saya melihat, maaf, pasangan yang kemudian bercerai gara-gara meminta nasihat dari orang yang keliru. Saya langsung teringat kisah seorang istri yang tidak tahan akibat ulah suaminya yang hobi selingkuh. Mereka seringkali bertengkar, bahkan di depan anak-anak mereka (sesuatu yang sebenarnya akan sangat mempengaruhi kestabilan emosi anak di kemudian hari). Puncak kemarahan sang istri terjadi manakala ia tahu suaminya telah punya anak lagi dari selingkuhannya itu. Semula sang istri terus-menerus mencoba untuk sabar namun sayang ia kemudian salah bergaul. Ia menjadi sahabat dekat dari beberapa ibu-ibu yang baru saja bercerai. Tentu Anda bisa menebak apa saran dari mereka kepadanya. St. Paul pernah berkata, "Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik." Dan, hanya butuh waktu sesaat untuk ia kemudian memutuskan bercerai. Saya sungguh menangis di hari keputusan itu ia buat!

Sebagai anak korban perceraian, seringkali saya berpikir, pernahkah orang tua memikirkan betapa terguncangnya jiwa anak-anak korban perceraian? Barangkali itulah juga salah satu dari sekian banyak alasan mengapa dalam Kitab Suci dikatakan Tuhan membenci perceraian. Jika saja pemikiran seperti ini ada, tentu sedari awal pernikahan, komitmen akan senantiasa dijaga. Saya sudah banyak menangani kasus anak-anak yang akhirnya menjadi nakal hingga terjerumus hal-hal tidak baik karena tidak mendapatkan cukup kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Saya membutuhkan waktu belasan tahun untuk dapat memulihkan hubungan saya dengan kedua orang tua saya. Hati saya amat terharu manakala mendengar ayah kandung saya berkata kepada anak saya, "Opa ini opa yang hina dina. Opa gagal jadi ayah yang baik bagi papamu..." Ketika pemulihan terjadi, dalam keadaan bercucuran air mata, ayah saya berkata, "Tadi di pesawat, ayah melihat tulisan happy landing. Ayah tidak hanya ingin happy landing tapi ayah ingin happy ending." Sungguh sebuah pernyataan yang maknanya sangat dalam karena diucapkan di usia senja. Ketika pemulihan itu terjadi, saya juga mulai belajar untuk bisa mengasihi ketiga adik tiri saya. Ini semua kasih karunia Tuhan. Saya tidak akan pernah mampu melakukannya seorang diri. Terpujilah nama-Mu selalu, ya Sang Pemulih Sejati.

Mohon maaf, saya tidak bermaksud mendiskreditkan pasangan yang memilih bercerai. Toh, hidup adalah pilihan. Manusia diberikan kebebasan memilih dan pada akhirnya harus mempertanggungjawabkan semuanya itu kepada Tuhan, secara pribadi. Kita memang tidak akan pernah bisa kembali ke masa lalu, bahkan satu detik yang baru saja berlalu. Yang terpenting adalah bagaimana kita melangkah ke depannya. Jika sesuatu yang kita tahu buruk akibatnya di masa mendatang, alangkah baiknya kita mendengarkan hati nurani kita dan bukan mengambil tindakan berdasarkan emosi kita yang pada akhirnya akan kita sesali di kemudian hari. Pepatah bijak berkata, lebih baik mencegah daripada mengobati. (Bersambung...)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar mu:

Popular Posts